Salat Jum’at merupakan salat yang hukumnya diwajibkan khusus bagi muslim laki-laki. Salat ini minimal terdapat 40 orang mukim dalam suatu masjid. Adapun jumlah masjid dalam satu desa hanya boleh mendirikan satu bangunan saja. Hal ini terkadang menjadi kendala bagi orang-orang yang jauh rumahnya dari masjid. Sehingga orang-orang tersebut salat Jum’at dalam keadaan masbuq. Banyak orang yang salah pemahaman ketika salat Jum’at menjadi makmum masbuq.
Sebelum lebih lanjut, kita harus membedakan antara orang mukim, musafir, dan muastawthin. Pertama, orang mukim ialah sebutan bagi orang yang menetap dalam kadar waktu minimal empat hari atau bahkan telah menetap bertahun-tahun dalam suatu wilayah. Bisa disebut orang mukim jika ia mempunyai niat untuk kembali ke tanah kelahirannya. Orang-orang mukim ini wajib melakukan salat Jum’at.
Kedua, musafir merupakan orang yang bepergian dan tidak ada tujuan untuk menetap dalam suatu wilayah. Orang musafir tidak diwajibkan untuk melakukan salat Jum’at. Namun, orang musafir ini sah-sah saja jika ia melakukan salat Jum’at dengan penduduk setempat. Ketiga, mustawthin adalah sebutan bagi orang yang bertempat di tanah kelahirannya atau transmigrasi di tempat lain namun tidak ada niat untuk kembali ke tanah kelahiran. Sehingga mustawthin ini wajib salat Jum’at dan bahkan ia mengesahkan hitungan 40 orang dalam satu masjid.
Adapun ketentuan makmum masbuq dalam salat Jum’at minimal harus mengikuti rukuk raka’at kedua dalam salat Jum’at tersebut. Hal demikian maka makmum hanya cukup menambah satu raka’at saja. Makmum tersebut juga masih dianggap salat Jum’at. Jika makmum tertinggal imam belum sampai satu raka’at maka hukumnya sama sebagai mana salat wajib. Contoh ketika imam sudah pada posisi rukuk dalam raka’at pertama. Maka makmum boleh langsung mengikuti rukuknya imam. Pendapat ini juga diikuti mayoritas para Ulama khususnya Ulama pengikut Imam Syafi’i.
Disisi lain ternyata ada makmum yang masbuq sampai dua raka’at. Dapat pula dikatakan bahwa makmum tersebut tidak mendapatkan rukuk kedua. Sebab jika tidak menjumpai rukuk tumakninahnya imam maka sudah dianggap masbuq satu raka’at. Makmum masbuq yang tidak mendapatkan rukuk kedua ini tetap boleh ikut berjamaah. Akan tetapi makmum tersebut harus menggenapkan bilangan raka’atnya sebanyak salat dzuhur. Boleh pula ia menggunakan niat salat Jum’at. Hal ini merupakan qoul al ashah atau pendapat yang masyhur.
Terkadang ada seorang yang datang terlambat dan tertingal satu raka’at lalu setelah imam salam orang tersebut meneruskan satu raka’atnya. Kemudian tiba-tiba ada orang lain yang masih terlambat langsung menyusul atau bermakmum dengan orang yang sedang melengkapi raka’at tadi. Maka orang kedua yang terlambat dan bermakmum dengan orang pertama yang masbuq hukumnya sah salat Jum’atnya. Akan tetapi jika orang pertama tadi salat Jum’atnya tidak sah maka orang kedua yang masbuq juga tidak sah.
Uraian di atas tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa makmum masbuq ketika ia tertinggal satu raka’at ia cukup menambahi satu raka’at lagi. Sedangkan bagi makmum yang tertinggal dua raka’at ia harus menggenapkan salatnya seperti raka’at salat dzuhur. Adapun tertinggalnya makmum ini dihitung dari makmum itu bisa mendapatkan rukuk tuma’ninahnya imam atau tidak.
Maka orang kedua yang terlambat dan bermakmum dengan orang pertama yang masbuq hukumnya sah salat Jum’atnya
BalasHapusmaksude piye du?
Ada dua orang yang masbuq. Orang yang masbuq pertama hanya terlambat satu raka'at. Kemudian ia menambahi raka'atnya yang tertinggal. Tiba-tiba ada orang lagi yang masih tertingal dan langsung bermakmum dengan makmum masbuq pertama tadi. Melakukan hal semacam itu boleh saja dan dapat dianggap sah salat makmum masbuq kedua tadi. Bisa dipahami kah....
Hapus