Ust Abdul Wahab Ahmad
Ini tulisan ust Ahwan lalu di bawahnya adalah tanggapan atas komentar itu. Para pembaca dapat menyimak bahwa tidak satu pun dalil yang saya minta bisa dipaparkan.
------------------------------------------
*HARI GINI BELUM FAHAM WUJUDUL HILAL?*
*Tanggapan atas tulisan Abdul Wahab Ahmad*
Oleh: Ahwan Fafani
Ada satu ahli agama yang bertanya, apakah tinggi hilal 0 derajat itu bisa menjadi penanda datangnya bulan baru? Pertanyaan tersebut sekilas tampak benar, tetapi bisa membawa pemahaman yang tidak benar. Dalam bahasa logika disebut fallacy. Sebenarnya pula pembahasan mengenai dasar wujudul hilal tersedia online berupa penjelasan dari Majelis Tarjih, ulama Tarjih hingga para peneliti. Jika masih belum bisa memahami juga, yah memang move on kepada pemikiran baru itu tidak mudah, meski lebih jelas.
Kenyataannya, penentuan awal Ramadhan dan Syawal saat ini berdasarkan penyimpulan. Imkanur rukyat itu juga teori baru yang tidak ada pada zaman Rasul. Untuk benarnya rukyat disyaratkan ada usia bulan berdasarkan ijtima' dan juga memperhitungkan sudut elongasi. Apakah kriteria itu ada dalilnya dalam Alquran maupun hadis? Lalu, apakah imkanur rukyat itu sejenis bid'ah juga? Enggak juga lah!
Penyimpulan adalah pengetahuan tidak langsung yang didasarkan pengetahuan langsung. Menurut al-Ghazali dalam Al-Mustashfa penyimpulan melalui qiyas burhani (penyimpulan tak langsung dengan premis yang meyakinkan) itu membawa kepada pengetahuan yang qath'i. Hasil hisab itu juga bentuk penyimpulan berdasarkan perhitungan atas posisi rembulan dan matahari.
Menurut Taqi al-Din al-Subki, dalam Fatawa-nya, hisab bahkan lebih meyakinkan dibandingkan rukyat. Hal itu diperkuat oleh Yusuf al-Qardlawi bahwa ketika rukyat itu dzanni (prasangka), sedangkan hisab itu qath'i (membawa pada kepastian) maka menggunakan dasar hisab termasuk qiyas aulawi (petunjuk yang tidak disebutkan teks lebih kuat dibandingkan yang disebutkan).
Contoh, Alquran hanya melarang untuk mendekati zina, apakah dengan demikian zina itu boleh? Jawabannya jelas, meskipun yang dilarang berdasarkan petunjuk nash adalah mendekati zina, tetapi karena perbuatan zina lebih berat kesalahannya dibandingkan mendekati maka larangan zina lebih jelas lagi, meski tidak eksplisit disebutkan.
Buktinya sekarang, banyak rukyat ditolak berdasarkan hasil perhitungan hisab, padahal pada zaman Nabi Muhammad persaksian daruli satu oranf adil bahwa ia melihat hilal pun diterima, tanpa perlu dicek tinggi hilal, usia bulan, dan sudut elongasinya. Lalu mengapa ada tambahan kriteria yang tidak ada dasar syar'inya? Apakah itu sejenis bid'ah juga? Nggak juga lah. Itulah penyimpulan yang dipakai manusia untuk memastikan hilal bisa dilihat.
Kembali pada pertanyaan apakah hilal 0 derajat itu sudah masuk bulan baru? Pertanyaannya itu perlu ditanyakan ulang, apakah ada yang menetapkan bulan baru dengan tinggi hilal 00.00.00?! Yang ada adalah penetapan dengan ketinggian 00 derajat, sekian menit, sekian detik. Itu bukan 00.00.00, melainkan sudah ada tambahan menit dan detik.
Mempertanyakan keabsahan penetapan demikian sama saja dengan menanyakan apakah menit ke-2 pada hari pertama bulan Januari 2024 sudah masuk tahun baru? Bukankah satu tahun itu 365 hari, dan satu hari itu 24 jam alias 1440 detik? Lalu apakah baru dua detik lewat dari jam 12.00 atau jam 00.00 itu sudah masuk tahun baru 2024. Sampai saat ini penduduk dunia sepakat, bahwa hari baru, bulan baru dan tahun baru tiba begitu jarum jam meninggalkan jam 00.00 meski satu detik.
Sudah barang tentu penentuan awal bulan Qomariyah tidak persis sama dengan penentuan awal bulan Syamsiyah. Tetapi yang ingin digarisbawahi di sini adalah bahwa penetapan awal bulan itu selalu menjadi wilayah ijtihad manusia. Di Muhammadiyah, masalah ini masuk wilayah dunia, yang berdasarkan sains. Kriteria wujudul hilal itu mencoba untuk tetap berpegang teguh pada adanya hilal sebagai dasar datangnya bulan baru, tetapi dengan mencari titik kepastian berdasarkan ilmu. Meskipun masalah dunia, tetapi karena hasilnya adalah penetapan awal bulan Hijriyah, tentu berdampak pada pelaksanaan ibadah mahdlah yang dikaitkan dengan sabab hukum fenomena alam.
Hisab dengan kriteria wujudul hilal dipilih karena mata manusia terbatas, fenomena hilal yang sama bisa dilihat satu orang, namun tidak bisa dilihat orang lain. Akhirnya penyelesaiannya adalah melalui keputusan politik oleh penguasa, suatu pendekatan yang sudah ditinggalkan dalam penentuan kalender Masehi ribuan tahun lalu. Namun, meskipun alat sudah maju dan perhitungan hisab sudah bisa mencapai pengetahuan qath'i tetap saja rukyat manual yang dipakai karena alasan nash. Orang-orang begini jika diserang Israel pakai tank mungkin yang dicari kuda untuk membuat regu berkuda karena demikian Alquran memerintahkan dalam menghadapi musuh dalam surat al-Anfal ayat 60.
Semarang, 21 Januari 2024
________
TANGGAPAN SAYA (AWA):
Assalamu 'alaikum
Jawaban anda sudah saya baca seluruhnya. Izinkan saya menjawab kembali sebagai bentuk dialog yang sehat. Langsung saja:
1. Saya ulangi untuk kesekian kalinya, saya tidak mempermasalhkan hisab dan ini sama sekali bukan soal pertentangan antara hisab rukyat yang sudah selesai berabad lalu. Saya pun praktisi hisab dan belajar ilmu itu sejak sekitar 20 tahun lalu. Selain perhitungan manual seperti di masa lalu, saya juga mengoleksi beragam sofware untuk itu. Jadi, kebanyakan uraian ustadz dan contoh--contoh yang mengesankan saya tertinggal tersebut tidak mengena dan bahkan keluar dari topik bahasan.
2. Yang saya bahas adalah kriteria wujudul hilal sebagai pedoman penentuan bulan baru. Ini mana hadisnya? mana salafnya? Ustadz membawa penjelasan nama seorang imam dalam Mazhab Syafi'i yang sangat saya kagumi, yaitu Imam Taqiyudin as-Subki, namun anda lupa bahwa beliau sama sekali tidak pernah berfatwa mendukung teori wujudul hilal seperti yang dipakai sekarang. Tidak beliau, tidak juga para Imam yang lain, Tidak juga Imam Ghazali yang anda bawa-bawa namanya atau siapa pun. Jadi, semua pencomotan nama itu sama sekali tidak berguna untuk memperkuat teori wujudul hilal anda, bahkan mereka semua menentang itu.
3. Semua maklum bahwa imnakur ru'yah dan wujudul hilal itu berbeda. Maka jangan menjadikan dalil yang digunakan imkanur ru'yah dan untuk wujudul hilal yang sejatinya adalah mustahilur ru'yah. Saya heran mengapa kawan-kawan MU seolah tidak memahami bedanya imkan dan mustahil sehingga dalil imkan selalu dipakai untuk yang mustahil.
Silakan tampilkan dalil wujudul hilal sendiri, bukan dalil hisab dan bukan dalil imkanur ru'yah. Bila memang ada, silakan ditampilkan untuk mematahkan tulisan saya.
4. Tentang qiyas, saya paham betul apa itu qiyas dan bagaimana kehujjahannya sehingga tidak perlu dibahas, Namun dalam kasus kita saya berhak bertanya kenapa anda memakai qiyas dan meninggalkan banyak nash sharih dan sahih? Bila anda benar belajar ilmu ushul fikih, maka siapa pakar ushul yang memperbolehkan menggunakan qiyas tatkala ada nash sharih dan shahih yang berupa istruksi teknis? Saya jamin, Imam Ghazali dan lainnya yang anda bawa namanya tidak akan memperbolehkannya.
5. Nash yang saya maksud di nomer 4 adalah hadis-hadis yang berisi instruksi teknis oleh Nabi Muhammad sendiri bahwa ketika hilal tidak terlihat maka digenapkan 30 hari. Saya rasa tidak perlu menukil hadisnya sebab saking populernya. Mana yang lebih kuat antara Instruksi teknis dari nabi dan instruksi teknis dari Tarjih yang secara frontal membuang hadis tersebut?
Komentar
Posting Komentar