KETIKA HILAL TERHALANG AWAN ATAU MEMANG BELUM DAPAT DILIHAT



Oleh: Abdul Wahab Ahmad

Dari judulnya sudah terlihat bahwa saya akan membahas masalah hilal Ramadhan atau Sya’ban. Pembahasan ini bukan untuk memperuncing perbedaan tetapi agar para pelajar yang baru mengetahui persoalan ini atau ingin mendalami masalah ini dapat memahami konstruksi berpikir Jumhur Ulama (mayoritas ulama) dalam masalah ini. Meskipun tema ini merupakan perdebatan panjang, namun saya mencoba membuatnya sesederhana mungkin dalam poin-poin berikut:

1. Perlu diketahui bahwa waktu ibadah dalam Islam ditentukan melalui sumber hukum utama, yakni al-Qur’an dan hadis. Sumber hukum yang lain tidak dapat digunakan untuk menentukan waktu yang sah atau tidak sah dari sebuah ibadah. Ibadah sendiri adalah instruksi syariat yang tidak dapat dipertanyakan alasannya kenapa dan bagaimana tetapi harus dilakukan begitu saja sebagai bentuk ketaatan.

2. Waktu yang diakui secara syariat (waktu syar’i) adalah waktu yang terlihat oleh mata manusia, bukan kejadian alam yang terjadi secara faktual. Sains saat ini menjelaskan bahwa sinar matahari baru sampai ke bumi setelah menempuh perjalanan selama 8 menit. Itu artinya apa yang dilihat manusia di bumi adalah pemandangan yang telat 8 menit. Dengan demikian, bila di bumi terlihat bahwa matahari baru terbit, sedang berada lurus di atas kepala atau terbenam, pada hakikatnya secara perhitungan sains matahari sudah terbit, berada di atas kepala atau terbenam 8 menit sebelumnya. Akan tetapi waktu yang diakui syariat adalah waktu yang terlihat di mata manusia, bukan hakikat posisi matahari secara sains sehingga bila Anda berbuka puasa delapan menit sebelum jadwal maghrib, maka puasa Anda batal tanpa ada ikhtilaf di antara ahli ilmu. Demikian pula ketika Anda shalat wajib delapan menit sebelum waktu syar’i, maka shalat Anda tidak sah. Perbedaan antara hakikat kejadian (waktu sainstifik) dan waktu syar’i untuk beribadah ini perlu dipahami dengan baik sebelum kita melangkah pada bahasan berikutnya.

3. Dalam hal memulai Ramadhan atau mengakhirinya, waktu syar’inya adalah melihat hilal. Ini dinyatakan dengan jelas oleh Rasulullah sebagai berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab melihatnya juga” (Bukhari-Muslim)

4. Bagaimana ketika hilal tidak dapat dilihat? Dalam hal ini Rasulullah juga memberikan ketentuan waktu syar’inya sebagai berikut:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ 
“Ketika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Ketika kalian melihatnya [di bulan berikutnya], maka akhirilah puasa. Apabila kalian terhalang awan, maka perkirakanlah”.

5. Diperkirakan bagaimana maksudnya? Penjelasan kata “diperkirakan” ini juga telah dijelaskan oleh Rasulullah sendiri dengan rinci dalam banyak riwayat yang sahih pada orang-orang yang berbeda dengan redaksi yang berbeda-beda pula namun semakna sehingga begitu jelas maksud beliau, yakni dengan cara memperkirakan jumlah bulan yang berlangsung agar digenapkan menjadi 30 hari. Beliau bersabda dalam redaksi yang berbeda-beda tetapi sama maksudnya dalam hadis-hadis yang akan saya nukil berikut ini. Saya menulis sanadnya dengan lengkap agar diketahui siapa saja perawinya yang mendengarkan instruksi langsung dari Rasulullah tetapi tidak perlu saya tulis dalam terjemahan agar tidak panjang.
صحيح مسلم (2/ 759)
 عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ، فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ: «الشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا - ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ - فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
“Bulan itu adakalanya begini, begini dan begini (sambil berisyarat bahwa adakalanya berjumlah 29 hari atau 30 hari), beliau mengepalkan jarinya dalam isyarat ketiga. Maka berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya [lagi]. Apabila terhalang awan atas kalian, maka PERKIRAKANLAH HITUNGAN BULAN MENJADI 30 HARI.

صحيح مسلم (2/ 759)
 وحَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ، وَقَالَ: «فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا ثَلَاثِينَ»
“Apabila terhalang awan atas kalian, maka PERKIRAKANLAH HITUNGAN BULAN MENJADI 30 HARI.”

صحيح البخاري (3/ 27)
حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya [lagi]. Apabila hilal tidak terlihat, maka SEMPURNAKANLAH JUMLAH SYA’BAN MENJADI 30 HARI.”

صحيح مسلم (2/ 762)
 حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَلَّامٍ الْجُمَحِيُّ، حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ»
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya [lagi]. Apabila hilal tidak terlihat, maka SEMPURNAKANLAH JUMLAH HARINYA.”

صحيح مسلم (2/ 762)
وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya [lagi]. Apabila hilal terhalang awan atas kalian, maka HITUNGLAH MENJADI 30 HARI.”

صحيح مسلم (2/ 762)
 حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: ذَكَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْهِلَالَ فَقَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»
“Apabila kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah. Apabila kalian melihatnya [lagi], maka akhirilah puasa. Apabila hilal terhalang awan, maka HITUNGLAH MENJADI 30 HARI.”

6. Instruksi Rasulullah di atas sudah sangat jelas sehingga sebenarnya ruang diskusi sudah tertutup sebab masalah waktu ibadah hanya dapat ditentukan dari sumber al-Qur’an dan hadis, bukan dari hasil diskusi, opini atau kesepakatan sebagaimana dijelaskan di poin 1. Dari instruksi yang gamblang tersebut, para ulama dalam empat mazhab menyimpulkan bahwa waktu syar’i untuk memulai ibadah puasa Ramadhan atau mengakhirinya ketika hilal terhalang awan atau tidak terlihat adalah dengan cara menggenapkan hitungan bulan yang berlangsung menjadi 30 hari. Hadis yang satu digunakan untuk menafsirkan hadis yang lain. 

7. Instruksi Rasulullah untuk menggenapkan jumlah hari menjadi 30 hari di atas tidak dapat gugur dan berlaku selamanya selama tidak ada ayat atau hadis yang menasakhnya (membatalkan keberlakukannya). Dalam ushul fikih, aturan yang ada dalam teks al-Qur’an atau hadis dinyatakan dapat batal keberlakuannya apabila ada teks al-Qur’an atau hadis sahih yang datang belakangan yang secara eksplisit membatalkan aturan yang sebelumnya tersebut. Pembatalan ini disebut dengan istilah nasakh. Teks teks al-Qur’an atau hadis sahih yang membatalkan aturan lama tersebut disebut dengan nasikh.

8. Nasikh (unsur pembatal pemberlakukan ayat al-Qur’an atau hadis) hanya boleh berupa teks al-Qur’an atau hadis sahih pula. Segala pendapat, opini, atau pun penafsiran secanggih apa pun sama sekali tidak dapat menjadi nasikh (unsur pembatal pemberlakukan). Demikian juga fakta saintifik tidak dapat menjadi nasikh. Andai pintu untuk membatalkan ketentuan eksplisit dari ayat al-Qur’an atau hadis dibuka untuk pendapat, penafsiran, atau fakta saintifik, maka syariat Islam akan batal semuanya dari akar-akarnya. Orang akan dengan mudah membuang ayat/hadis atau menolak pemberlakuannya dengan berbagai alasan. Itulah tanda-tanda kiamat.

9. Sebab itu, mayoritas ulama tetap menggunakan instruksi Nabi di atas untuk menggenapkan hitungan bulang menjadi 30 hari dan tidak mau peduli dengan perhitungan para ahli astronomi yang menyatakan bahwa di balik awan atau di balik horizon telah wujud hilal. Perlu diingat kembali, yang dibicarakan di sini adalah waktu ibadah yang bersifat syar’i, bukan sekedar pengetahuan umum. Imam Nawawi memberikan alasan lain kenapa perhitungan astronomi diabaikan, yakni:

شرح النووي على مسلم (7/ 186)
قَالُوا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ حِسَابَ الْمُنَجِّمِينَ لِأَنَّ النَّاسَ لَوْ كُلِّفُوا بِهِ ضَاقَ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُ لَا يَعْرِفُهُ إِلَّا أَفْرَادٌ وَالشَّرْعُ إِنَّمَا يُعَرِّفُ النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُهُ جَمَاهِيرُهُمْ
“Para ulama berkata: Tidak bisa diartikan bahwa yang dimaksud hadis itu adalah menggunakan perhitungan ahli astronomi sebab masyarakat apabila dipaksa menggunakannya akan kesulitan karena ilmu itu tidak diketahui kecuali oleh segelintir orang sedangkan syariat memberlakukan pedoman dengan apa yang diketahui oleh mayoritas masyarakat”. 

Di tempat lain, Imam Nawawi menukil perkataan Jumhur Ulama sebagai berikut:
المجموع شرح المهذب (6/ 270)
قَالَ الْجُمْهُورُ: وَمَنْ قَالَ بِتَقْدِيرِ تَحْتَ السَّحَابِ فَهُوَ مُنَابِذٌ لِصَرِيحِ بَاقِي الرِّوَايَاتِ وَقَوْلُهُ مَرْدُودٌ
“Mayoritas Ulama berkata: Siapa yang berpendapat dengan memperkirakan keberadaan hilal di bawah awan, maka dia telah membuang sisa riwayat yang menyatakan secara eksplisit, dan pendapatnya adalah tertolak.” 

Kesimpulan akhirnya, an-Nawawi kemudian berkata:
المجموع شرح المهذب (6/ 270)
فَالصَّوَابُ ماقاله الْجُمْهُورُ وَمَا سِوَاهُ فَاسِدٌ مَرْدُودٌ بِصَرَائِحِ الْأَحَادِيثِ السَّابِقَةِ
“Maka yang benar adalah yang dikatakan oleh jumhur (mayoritas ulama) sedangkan pendapat yang lain adalah tertolak dengan keterangan yang eksplisit dalam hadis-hadis yang telah lalu”

Inilah nalar jumhur ulama yang mengikuti instruksi Rasulullah dalam hal memulai dan mengakhiri puasa secara lengkap. Tentu saja ini langkah paling aman untuk dipertanggungjawabkan di akhirat nanti ketika setiap orang ditanya tentang keabsahan ibadahnya. Apabila kita mengikuti pendapat segelintir tokoh yang berbeda dengan ini, maka pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab secara ilmiah adalah: 

- Mau dikemanakan hadis-hadis shahih di atas? 
- Kalau instruksi Rasulullah tersebut dibatalkan pemberlakuannya, maka mana ayat atau hadis sahih yang menasakhnya? 
- Kalau hadis sahih tentang ibadah dibatalkan dengan analisis perorangan atau dengan fakta saintifik, maka siapa yang punya otoritas menjadikan analisis atau fakta saintifik tersebut sebagai sumber hukum yang dapat membatalkan hadis dan sekaligus sebagai penentu waktu ibadah umat Islam yang diakui secara syariat?
- Ketika instruksi Rasulullah dalam hal ibadah sudah jelas, terang benderang, tidak multi tafsir dan bahkan bersifat teknis operasional, lalu ada orang lain yang memberikan instruksi teknis yang berbeda, kita mau ikut siapa?

Semoga bermanfaat.

Baca Juga

Komentar