ILMU HAKIKAT ADALAH ILMU PASARAN




Ust Abdul Wahab Ahmad


Kalau dari dulu anda didoktrin bahwa ilmu hakikat seolah-olah ilmu yang samar, elit, tinggi dan sulit dicapai oleh kebanyakan orang dan seolah merupakan sesuatu yang eksklusif untuk komunitas tertentu, maka dalam tulisan ini saya ingin menekankan bahwa ilmu hakikat tidak seperti itu. Justru ilmu ini adalah ilmu "pasaran" dan bahkan boleh dibilang diketahui oleh semua muslim yang hatinya takut kepada Allah. Tapi saking pasarannya, yang tidak takut pada Allah pun sedikit banyak tahu tentang ilmu ini hingga dijadikan alat untuk makin berani pada Allah. Jangankan muslim, di al-Qur'an disebutkan bawa orang kafir pun sudah tahu ilmu hakikat dan dipergunakan untuk memperkuat kekafirannya. Jadi, ilmu hakikat ini pasaran banget lah pokoknya, tidak seperti yang dikesankan sebagian orang. Loh, kok begitu? Simak penjelasannya di bawah ini. Tapi ini adalah penjelasan panjang sebab tidak boleh saya putus sebelum usai. Jadi, siapkan camilan dan kopi dulu.

  

Banyak yang menjelaskan bahwa syariat merupakan level pertama lalu kemudian hakikat adalah level selanjutnya seperti sebuah anak tangga. Kalau anda mendengar kalimat seperti itu, jangan dipercaya atau setidaknya bersikaplah kritis terhadapnya sehingga anda tidak dikibuli di siang bolong. Ada kalimat seperti itu yang maknanya tepat tapi banyak yang maknanya salah. Secara umum, kalimat seperti itu tidak akurat sehingga membuat banyak orang bodoh salah paham sehingga malah tidak shalat, tidak puasa dan seterusnya dengan alasan sudah mencapai hakikat tidak lagi di level syariat. Padahal, semua orang, termasuk anda yang membaca ini, juga sudah mencapai hakikat. Bedanya, ada hakikat yang berbuah manis berupa keimanan dan kenikmatan dalam beragama dan ada juga hakikat yang berbuah pahit berupa kefasikan dan kekurufan. 

  

Yang benar, hakikat dan syariat bukanlah level yang berbeda seperti anak tangga. Keduanya merupakan dua sisi yang berbeda dari satu hal yang sama; Syariat adalah sisi yang tampak sedangkan hakikat adalah sisi yang tidak tampak. Kedua sisi ini ada bersamaan dan secara teoritis seharusnya tidak terpisah meski pun banyak yang memisahkannya dengan hanya melihat satu sisi saja. Sebab itulah banyak ulama yang mengatakan: 

  

وَالشَّرِيعَةُ ظَاهِرُ ‌الْحَقِيقَةِ وَالْحَقِيقَةُ بَاطِنُهَا وَهُمَا مُتَلَازِمَانِ مَعْنًى 

  

"Syariat adalah sisi yang tampak dari hakikat dan hakikat adalah sisi yang tidak tampak dari syariat. Keduanya secara substansi meupakan hal yang tidak dapat dipisah" (al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami Ala al-Khatib, vol I, 8). 

  

Syaikh Kyai Ahmad Nawawi Bin Abdul Jalil Sidogiri dalam kitabnya telah menjelaskan definisi hakikat dengan penjelasan yang sangat mudah dicerna sehingga rasanya perlu saya kutip sebagai berikut: 

  

اعلم : أن الحقيقة أن ترى أن الله عز وجل هو المتصرف في خلقه يهدي ويضل ويعز ويذل ويوفق ويخذل ويولي ويعزل 


Ketahuilah bahwa sesungguhnya hakikat adalah engkau melihat bahwasanya Allah Azza Wajalla adalah pihak yang mengatur makhluknya, Dia memberi petunjuk, membiarkan sesat, memuliakan, merendahkan, memberi petunjuk, menghinakan, memberi jabatan dan memecat. 


فالخير والشر والنفع والضر والإيمان والكفر والفوز والخسران والزيادة والنقصان والطاعة والعصيان بقضائه وقدره وحكمه ومشيئته . فما شاء كان وما لم يشأ لم يكن 


“Maka yang enak dan tidak enak, yang bermanfaat dan yang berbahaya, iman dan kekufuran, keuntungan dan kerugian, tambahan dan kurang, taat dan maksiat, semuanya terjadi karena qada’ dan qadar Allah, keputusan Allah dan kehendak Allah. Apa yang Allah kehendaki terjadi dan apa yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.” (Ahmad Nawawi bin Abdul Jalil, al-Ma’man Min adl-Dlalalah, 57)


Secara sederhana dan mudah, hakikat dapat didefinisikan sebagai melihat peran Allah di balik semua kejadian yang tampak yang berkonsekuensi menjadikan seseorang sebagai orang yang saleh atau malah orang bejat yang banyak bacot. Sebaliknya, syariat berarti melihat peran makhluk dalam semua kejadian yang berkonsekuensi pada hukum taklifi berupa wajib, haram, sunah, makruh dan mubah serta hukum wad'i berupa sah atau batal. 

  

Agar jelas, langsung saja akan saya jelaskan memakai contoh-contoh sederhana berikut: 

  

1. Ketika seseorang mendapat pemberian uang dari orang lain, secara syariat itu disebut sedekah, hibah atau hadiah yang hukumnya sunnah yang berkonsekuensi pemberinya mendapat pahala dan penerimanya harus berterima kasih. Secara hakikat, itu adalah rezeki pemberian Allah bukan pemberian orang tersebut. Jadi, kalau anda misalnya mengucap hamdalah memuji Allah karena diberi hadiah dari orang lain, maka anda sudah berhakikat sebab anda dapat melihat sisi yang tidak tampak. Bukan hanya si manusia pemberi yang anda lihat tapi juga Allah yang berkehendak agar orang itu memberi. Sebaliknya, kalau anda hanya melihatnya sebagai pemberian manusia, maka anda melupakan sisi hakikatnya. 

  

2. Ketika seseorang bekerja lalu mendapat gaji dari pekerjaan itu, secara syariat itu disebut akad ijarah (sewa) yang berkonsekuensi pihak penyewa harus mendapat jasa sesuai kontrak dan pihak yang disewa harus mendapat upah kerja sesuai kontrak. Secara hakikat, itu adalah cara Allah memberi rezeki pada hambanya sehingga yang satu mendapat bantuan jasa dan yang satu lagi mendapat bantuan finansial. Jadi, kalau saat anda mendapat gaji hasil kerja anda sendiri atau saat anda dapat membayar orang untuk membantu pekerjaan anda kemudian anda bersyukur pada Allah yang sudah memungkinkan itu terjadi, maka anda sudah berhakikat sebab melihat sisi yang tidak tampak. 

  

3. Ketika sesorang mati dibunuh oleh orang lain, secara syariat itu disebut pembunuhan yang berkonsekuensi hukum haram pada pihak pembunuh. Namun secara hakikat itu adalah kehendak Allah untuk mengakhiri hidup seorang hamba. Jadi, kalau anda melihat orang mati kemudian berucap Inna lillah atau menyuruh keluarga yang ditinggal untuk bersabar menghadapi takdir Allah tersebut, maka anda sudah berhakikat karena sudah melihat sisi yang tidak tampak. 

  

4. Ketika seorang petani menanam padi, secara syariat itu disebut ikhtiyar yang hukumnya menjadi wajib apabila nafkah keluarganya bergantung pada kegiatan menanam padi tersebut dan bisa juga menjadi haram bila hal itu dapat melalaikannya dari ibadah sedangkan nafkah keluarganya sudah tercukupi dari pendapatan lain. Secara hakikat, itu adalah cara Allah menunjukkan bahwa seorang petani hanya mampu berupaya secara zahir untuk menanam tapi Allah lah yang menghidupkan dan mematikan tanaman padi tersebut. Jadi, ketika ada petani yang berucap hamdalah ketika panennya sukses atau bersabar dengan berkata bahwa gagal panennya adalah kehendak Allah yang harus diterima, maka ia sudah berhakikat. 

  

5. Ketika shalat, seoang hamba sedang melakukan ritual yang diawali dengan bersuci, takbiratul ihram hingga salam. Secara syariat hukum shalatnya adalah wajib dan pelaksanaannya bisa sah atau tidak tergantung terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun shalat tersebut. Secara hakikat, ia sedang diberi hidayah oleh Allah sehingga digerakkan badannya untuk bergerak melakukan hal yang diperintah oleh Allah tersebut. Secara syariat, si hamba sedang menghadap kiblat namun secara hakikat dia sedang menghadap Allah. Jadi kalau saat shalat anda merasa mengadap Allah dan takut pada Allah kalau tidak shalat, maka anda sudah sampai pada level hakikat. 

  

Jadi, hakikat tidak serumit itu bukan? Saya yakin pembaca tulisan ini sudah sampai pada kesadaran "level hakikat" seperti di atas sebab memang dari kecil kebanyakan muslim diajarkan untuk melihat segala sesuatu dari perspektif serba Allah. Ketika mendapat kenikmatan diajari agar bersyukur pada Allah dan ketika mendapat musibah diajari untuk bersabar. Ketika berusaha atau melakukan sesuatu diajari agar menjalankannya dengan sungguh-sungguh sesuai prosedur zahir, tapi di sisi lain diajari untuk bertawakkal sambil berdoa pada Allah. Ini semua adalah ajaran yang komplit dari sisi syariat dan hakikat. 

  

Contoh-contoh di atas adalah hakikat yang berbuah manis. Sekarang saya akan mencontohkan hakikat yang berbuah pahit yang dicapai oleh ahli maksiat, orang fasiq, orang zindiq dan bahkan orang kafir, yakni: 

  

1. Ketika ada seorang suami yang secara syariat berkewajiban untuk bekerja menafkahi keluarganya, dia malah ongkang-ongkang kaki bermalas-malasan tidak mau bekerja dengan seribu alasan. Dia malah berkata bahwa secara hakikat rezeki sudah ada yang mengatur dan meskipun sudah bekerja keras tapi kalau Allah tidak memberinya rezeki maka rezeki tidak akan menghampiri, sebaliknya meski pun seseorang diam namun Allah berkehendak memberi rezeki, maka rezeki itu akan datang. Orang fasik seperti itu menjadikan ilmu hakikat sebagai alasan untuk lepas dari tanggung-jawabnya dan malah berdosa sebab itu. 

  

2. Ketika seseorang disuruh shalat, dia malah berkata bahwa kalau Allah berkehendak dirinya shalat tentu saja dirinya sudah shalat sehingga kalau dia tidak shalat artinya Allah memang tidak sedang menghendaki dia shalat. Akhirnya dia tidak pernah shalat dengan alasan itu. Orang zindiq ini menggunakan ilmu hakikat untuk bermaksiat. 

  

3. Ketika disuruh shalat, dia malah berkata bahwa hakikat shalat adalah menghadap Allah bukan menghadap kiblat, mengingat Allah bukan hanya komat-kamit membaca fatihah, menggerakkan hati kepada Allah bukan menggerakkan badan. Akhirnya dia tidak pernah shalat dengan alasan tersebut. Sama seperti contoh kedua, orang zindiq ini melawan perintah Allah dan hanya akan dimurkai oleh Allah. 

  

4. Ketika disuruh bersedekah, dia berkata bahwa kalau Allah berkehendak, tentu orang miskin sudah dijadikan kaya oleh Allah sehingga dia tidak perlu bersedekah segala. Kenyataan mereka miskin memang sudah kehendak Allah sehingga untuk apa pula dibantu dengan sedekah? Ini adalah hakikat yang dijadikan alasan oleh orang-orang kafir untuk menolak perintah Allah. Dalam al-Qur'an, ucapan ala hakikat oleh orang seperti ini diceritakan dalam al-Qur'an sebagaimana berikut: 

  

وَإِذَا قِیلَ لَهُمۡ أَنفِقُوا۟ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ قَالَ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَنُطۡعِمُ مَن لَّوۡ یَشَاۤءُ ٱللَّهُ أَطۡعَمَهُۥۤ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا فِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینࣲ 

  

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu,"orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, "Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata." [Surat Ya-Sin: 47] 

  

Keempat contoh ucapan orang fasik, orang zindiq dan orang kafir di atas adalah ilmu hakikat yang sebetulnya benar. Namun itu hanya digunakan sebagal alasan untuk melawan perintah Allah sehingga buahnya bukan keimanan dan kepatuhan melainkan hanya banyak bacot sok-sokan hakikat padahal bejat. Jadi, kalau anda bertemu dengan orang sok-sok hakikat seperti di atas, yang biasanya suka bilang: "Ah, kamu masih level syariat belum mencapat hakikat", maka bilang saja dengan tegas: 

  

"Saya sudah mencapai hakikat sebelum kamu mengenal kata hakikat. Bedanya, hakikat yang saya capai berbuah taat sedangkan hakikatmu berbuah bejat. Hakikat saya seirama dengan syariat sedang hakikatmu seirama dengan maksiat. Hakikatku tentang otot, hakikatmu cuma bacot". 

  

Sampai sini anda tahu bahwa ilmu hakikat ini bukan eksklusif milik komunitas tertentu tapi ilmu umum yang dapat diketahui semua orang. Bedanya, ada yang berbuah manis dan ada yang berbuah pahit. Ada yang menjadi kesadaran konsisten dalam kebaikan dan kebanyakan hanya menjadi kesadaran yang tidak konsisten yang timbul tenggelam. Hakikat yang menjadi kesadaran konsisten dalam alam bawah sadar dan selalu berbuah baik inilah yang sulit dicapai tanpa riyadhah dan penempaan diri yang keras dan inilah yang dimaksud dalam kitab-kitab tasawuf yang mengesankan bahwa hakikat bukan level yang dapat dicapai oleh semua orang dan bahwa untuk mencapai hakikat perlu menempuh thariqat, tapi ini akan saya bahas di tulisan lain saja agar yang ini tidak terlalu panjang. 

  

Semoga bermanfaat.

Baca Juga

Komentar