Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Rasulullah bersabda dengan instruksi yang sangat jelas bahwa ketika hilal belum terlihat, maka harus menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari. Beliau bersabda pada beberapa sahabat:
صحيح مسلم (2/ 759)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ، فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ: «الشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا - ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ - فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
“Bulan itu adakalanya begini, begini dan begini (sambil berisyarat bahwa adakalanya berjumlah 29 hari atau 30 hari), beliau mengepalkan jarinya dalam isyarat ketiga. Maka berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya [lagi]. Apabila terhalang awan atas kalian, maka PERKIRAKANLAH HITUNGAN BULAN MENJADI 30 HARI.
صحيح مسلم (2/ 759)
وحَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ، وَقَالَ: «فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا ثَلَاثِينَ»
“Apabila terhalang awan atas kalian, maka PERKIRAKANLAH HITUNGAN BULAN MENJADI 30 HARI.”
صحيح البخاري (3/ 27)
حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya [lagi]. Apabila hilal tidak terlihat, maka SEMPURNAKANLAH JUMLAH SYA’BAN MENJADI 30 HARI.”
صحيح مسلم (2/ 762)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَلَّامٍ الْجُمَحِيُّ، حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ»
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya [lagi]. Apabila hilal tidak terlihat, maka SEMPURNAKANLAH JUMLAH HARINYA.”
صحيح مسلم (2/ 762)
وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya [lagi]. Apabila hilal terhalang awan atas kalian, maka HITUNGLAH MENJADI 30 HARI.”
صحيح مسلم (2/ 762)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: ذَكَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْهِلَالَ فَقَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»
“Apabila kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah. Apabila kalian melihatnya [lagi], maka akhirilah puasa. Apabila hilal terhalang awan, maka HITUNGLAH MENJADI 30 HARI.”
Beberapa sahabat di dunia maya keberatan ketika saya memakai diksi "mengabaikan" atau "membuang" hadis tersebut pada orang yang jelas-jelas dengan bangganya bersikukuh tidak mau menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari saat hilal belum terlihat. Tetapi ketika saya tanya kalau tidak dibuang lalu apakah masih dipakai? tidak ada yang mampu menjawab dengan tegas. Yang ada hanya muter-muter dan ada yang bersumpah akan menuntut saya di akhirat sebagai pemecah belah umat. Ikut instruksi Rasulullah malah disebut memecah belah umat.
Ada yang menjawab bahwa hadis itu dipakai tapi pola istinbathnya saja yang berbeda. Namun ketika saya minta menjabarkan pola istinbathnya bagaimana sehingga ketika Nabi memerintahkan menggenapkan hitungan lalu menghasilkan kesimpulan jangan menggenapkan hitungan? Tak ada jawaban.
Ada yang menjawab bahwa hadis itu dipakai sebab ormasnya (tak perlu disebut ya) tidak pernah menyatakan membuang hadis. Lalu ketika saya bertanya di mana bukti penggunaan hadis itu dan bagaimana cara penggunaannya? tak ada jawaban.
Ada yang menjawab bahwa ini ranah tahqiq al-manath. Lalu saya minta bagaimana proses tahqiq al-manathnya hingga berkesimpulan yang bertolak belakang dengan instruksi Nabi. Tidak ada jawaban.
Ada yang menjawab bahwa ini perluasan makna hadis sehingga mengakomodir temua baru sesuai semangat zaman. Saya bilang bahwa kalau perluasan berarti hadis tersebut tidak dibuang sama sekali hanya diperluas, maka silakan buktikan di mana hadis itu dipakai? Tidak ada jawaban.
Ada yang menjawab bahwa rukyah itu hanya wasilah sehingga bisa diganti dengan wasilah lain. Lalu saya tanya, bagaimana istidlallnya sehingga instruksi sejelas dan setegas itu bisa disebut sekedar wasilah sehingga bisa diganti? Dan mana pula pernyataan Rasulullah yang membenarkan alternatif lain untuk berpuasa atau mengakhiri puasa tanpa rukyat sama sekali ketika hilal tidak terlihat? tak ada jawaban.
Ada yang menjawab bahwa penentuan awal bulan itu ta'aqquli, bukan ta'abbudi. Lalu saya bilang bahwa menyatakan ta'aqquli pun tidak bisa mengabaikan nash sharih dan sahih. Selain itu, mana dalilnya kalau keabsahan memulai dan mengakhiri ibadah adalah ta'aqquli? tak ada jawaban. Anehnya mereka ini biasanya mempermasalahkan waktu perayaan maulid, waktu tahlilan, dan lain-lain dengan dasar bahwa waktu ibadah adalah ta'abbudi. Tetiba di sini jadi ta'aqquli.
Ada yang mengatakan bahwa illat merukyat adalah karena dulu umat masih ummy (tidak pandai calistung). Ketika keummyan sudah hilang maka tidak berlaku. Saya jawab, jadi hadis sahih di atas dibuang begitu saja sebab produk generasi ummy? sebagian tidak menjawab, sebagian lagi tidak mau dibilang bahwa hadis itu produk generasi ummi, padahal ucapannya sendiri jelas ke arah sana. Sebuah penghinaan pada Nabi dan Sahabat. Kalau sekedar bilang dulu pakai unta sekarang pakai mobil sih wajar, tapi ini yang dibahas adalah ibadah yang jelas-jelas hak prerogatif Allah dan Rasul saja. Selain itu, kajian tentang illat biasanya digunakan ulama ushul untuk membahas permasalahan yang belum dibahas oleh hadis, bukan untuk membuang instruksi hadis yang sudah jelas. Kalau pun ada aturan yang tidak diberlakukan sebab illatnya sudah tiada, maka itu pun ada hadisnya.
Ada yang bilang bahwa merukyat di sana tak harus dimaknai melihat dengan mata tapi bisa dimaknai melihat dengan ilmu. Saya bilang, kalau begitu gugur dan percuma lah Nabi mengatakan "kalau tidak terlihat maka kenapkan menjadi 30 hari" sebab tidak mungkin hilal tidak terlihat lagi sampai kiamat. Ini sama saja dengan membuang instruksi Nabi tersebut dan mengganti dengan instruksinya sendiri. Tidak ada respons lanjutan. Selain itu, mereka yang berkata begini adalah orang yang sama yang meyakini hisab waktu subuh di indonesia terlalu cepat dengan alasan langit terlihat masih sangat gelap.
Ada yang bilang bahwa rukyat bukan ibadah, yang ibadah adalah puasa. Ya benar, tapi Nabi menjadikan rukyah sebagai pedoman memulai dan mengakhiri puasa. Ketika tidak dapat dirukyah, maka nabi menginstruksikan agar digenapkan menjadi 30 hari. Mengikuti instruksi nabi tentu ketaatan dan menyelisihinya tentu artinya tidak taat, kecuali menyelishi dalil itu dikarenakan dalilnya dianggap mansukh, makhsush atau muqayyad. Tapi mana dalil nasikh-nya, qayyidnya, atau mukhasshishnya? Kalau cuma pendapat pribadi tentu tidak bisa dipakai untuk mengenyampingkan hadis sahih, pakai hadis dlaif saja tidak bisa apalagi sekedar opini.
Ada juga yang keberatan dengan diksi "dibuang", pokoknya hadis tersebut tidak dibuang. Lalu mau pakai diksi apa kalau faktanya ada istruksi agar hadis itu tidak dipakai? Nabi menyatakan: "Kalau terhalang maka genapkan 30 hari", lalu mereka membuat keputusan, pengumuman, flyer dan istruksi agar tidak usah menggenapkan 30 hari. Bila menggunakan hati yang dingin dan melihat fakta ini dengan objektif tanpa politik identitas dan ego sektarian, tentu saja terlihat betul keinginan untuk mengenyampingkan instruksi Nabi di atas.
Imam Nawawi menukil jumhur ulama yang berkata:
المجموع شرح المهذب (6/ 270)
قَالَ الْجُمْهُورُ: وَمَنْ قَالَ بِتَقْدِيرِ تَحْتَ السَّحَابِ فَهُوَ مُنَابِذٌ لِصَرِيحِ بَاقِي الرِّوَايَاتِ
“Mayoritas Ulama berkata: Siapa yang berpendapat dengan memperkirakan keberadaan hilal di bawah awan (tidak perlu menggenapkan hari sesuai instruksi), maka dia telah MEMBUANG sisa riwayat yang telah sharih"
Jadi tidak perlu marah ketika seorang Abdul Wahab Ahmad menggunakan diksi "membuang" hadis sharih, dia hanya meniru jumhur ulama. Jumhur ulama juga tidak perlu dimarahi atau dianggap tidak toleran, mereka hanya mengikuti instrukti Nabi dan tidak mau membuangnya. Atau jangan-jangan memang mau bilang bahwa Nabi memecah belah umat setelah sebelumnya bilang bahwa rukyah hanya dipakai oleh umat yang masih ummy? Semoga tidak dan saya yakin tidak akan bilang begitu. Hanya saja tetap saja pertanyaan di atas harus dijawab kalau ingin diakui, hadis shahih tersebut mau dikemanakan? Bukankah ada jargon bombastis untuk "kembali ke al-Qur'an dan hadis"?
Fikih itu memang tempatnya berbeda pendapat. Tapi semua perbedaan pendapat harus bisa dipertanggung jawabkan. Berani berbeda maka harus berani menjawab semua pertanyaan dan musykil dengan tegas dan lugas sehingga orang lain paham apakah landasan ikhtilafnya muktabar atau tidak. Fikih bukan tempat di mana seseorang bisa berkesimpulan sendiri lalu mengemis toleransi atas nama ikhtilaf.
Komentar
Posting Komentar