Di sini Terasa Nyaman Ngaji Dalil Aswaja (Azan Di Kubur dan Qadha Salat Mayit)
Oleh Ust Makruf Khozin
Tadi pagi ada pengajian di Pondok Al Falah, Sumber Gayam Kadur, Pamekasan. Saat ini diasuh oleh KH Afifudin Toha. Karena yang hadir adalah para alumni yang tentunya mereka sudah banyak mengaji kitab, bagi saya terasa nikmat menjelaskan bab yang agak berat berkaitan dengan dalil Aswaja. Terbukti mereka tidak beranjak dari tempat duduknya. Bahkan ketika saya mau mengakhiri ada yang meminta sampai jam 12.00. Padahal kaki saya sudah terasa kram semua.
Awalnya saya menjelaskan bahwa dalil Maulid itu menggunakan metode istimbath atau menggali hukum. Istimbath ini diantaranya berupa qiyas atau analogi hukum. Lalu kemudian saya jabarkan sekalian beberapa dalil qiyas yang lain, yang menjadi amalan para kyai di Madura.
1. Azan di Kuburan
Amaliah ini kalau dilihat dalil hadisnya tidak akan dimukan, tetapi menggunakan metode qiyas terhadap hadis azan ketika anak kecil lahir di dunia yaitu riwayat hadits, Abu Rafi' berkata:
عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
"Saya melihat Rasulullah meng-adzani Hasan bin Ali saat Fatimah melahirkan, dengan adzan salat” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi, ia menilainya hasan sahih). Ulama Salafi menilai hadis ini hasan dalam Irwa’ al-Ghalil 4/400.
Letak persamaannya menurut sebagian ulama adalah jika masuk ke dunia ada anjuran untuk diazani maka ketika meninggalkan dunia juga diazani. Ada beberapa versi riwayat yang melakukan azan pertama di kuburan, di antaranya yang dilakukan oleh Al Hafidz Al Hamawi di Damaskus:
وَلَمَّا أُنْزِلَ فِي قَبْرِهِ عَمِلَ الْمُؤَذِّنُوْنَ بِبِدْعَتِهِ الَّتِي ابْتَدَعَهَا مُدَّةَ سَنَوَاتٍ بِدِمَشْقَ مِنْ اِفَادَتِهِ إِيَّاهُمْ أَنَّ الْأَذَانَ عِنْدَ دَفْنِ الْمَيِّتِ سُنَّةٌ وَهُوَ قَوْلٌ ضَعِيْفٌ ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ وَرَدَّهُ ابْنُ حَجَرٍ فِي الْعُبَابِ وَغَيْرُهُ فَأَذَّنُوْا عَلَى قَبْرِهِ
Ketika janazah al-Hafidz al-Hamawi diturunkan ke kubur, para muadzin melakukan bid’ah yang mereka lakukan selama beberapa tahun di Damaskus, yang diampaikan oleh beliau (Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Yusuf al-Hamawi) kepada mereka bahwa ‘adzan ketika pemakaman adalah sunah’. Ini adalah pendapat lemah yang dipilih oleh sebagian ulama generasi akhir. Pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar dalam kitab al-Ubab dan lainnya, maka mereka melakukan adzan di kuburnya” (Syaikh al-Muhibbi, Khulashat al-Atsar, 3/32)
Di teks kitab ini memang ada kata bidah. Tapi jangan memahami bidah seperti pemahaman Salafi, tentu beda. Karena ini dalam koridor Mazhab Syafi'i maka bidah di sini tidak sekeras makna bidah menurut mereka.
Az-Zirikli mengutip justru beberapa ratus tahun sebelumnya sudah dikenal azan saat mayit direbahkan di liang lahat:
الْاِصَابِي (٥٧٧ - ٦٥٧ هـ - ١١٨١ - ١٢٥٨ م) عَلِيًّ بْنُ الْحُسَيْنِ الْاِصَابِي، أَبُوْ الْحَسَنِ: فَقِيْهٌ أُصُوْلِيٌّ، يَمَانِيٌّ. وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْاَذَانَ لِمَنْ يُسَدُّ اللَّحْدَ عَلَى الْمَيِّتِ.
“Ali bin Husain al-Ishabi (577-657 H atau 1181-1257 M), Abu Hasan, ahli fikih, ahli usul fikih, berkebangsaan Yaman. Dia adalah yang pertama kali menganjurkan adzan terhadap orang yang memasukkan mayit ke liang lahat”
(al-A’lam, 4/280)
Sekali lagi karena ini adalah hasil metode qiyas maka tentu terjadi pro kontra, baik yang menerima atau yang menolak. Jangankan di luar kelompok lain, di Mazhab Syafi'i saja Imam Ibnu Hajar dan lainnya tidak menganjurkan azan di kubur ini, tetapi ada pendapat yang tetap menganjurkan:
وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ وِفَاقًا لِلَأْصْبَحِيِّ وَخِلَافًا لِبَعْضِهِمْ ا هـ . بِرْمَاوِيٌّ .
“Tidak disunahkan azan saat menutup liang lahat, sesuai dengan al-Ashbahi dan berbeda dengan sebagian ulama yang menganjurkan. Dikutip dari Syaikh Barmawi” (Hasyiah asy-Jamal, 3/171)
2. Qadha' Salat Mayit
Hadis-hadis Nabi berkaitan dengan qadha' terhadap amal ibadah yang ditinggalkan oleh mayit diantaranya adalah puasa, haji maupun sedekah. Tidak ada satupun perintah atau riwayat di masa sahabat bila ada yang wafat lalu meninggalkan salat, Nabi memerintahkan keluarganya untuk menunaikan salat yang ditinggalkan olehnya. Akan tetapi ditemukan sebuah pendapat untuk mengqadha salat mayit. Pertama dilandasi hadits anjuran menunaikan hutang kepada Allah:
فدين الله أحق أن يقضى
"Maka hutang kepada Allah lebih pantas untuk ditunaikan (HR Bukhari)
Kedua, Imam Muslim mencantumkan di dalam kitab shahihnya sebuah riwayat yang beliau katakan sanadnya dhaif karena terputus, yaitu:
«ﺇﻥ ﻣﻦ اﻟﺒﺮ ﺑﻌﺪ اﻟﺒﺮ ﺃﻥ ﺗﺼﻠﻲ ﻷﺑﻮﻳﻚ ﻣﻊ ﺻﻼﺗﻚ، ﻭﺗﺼﻮﻡ ﻟﻬﻤﺎ ﻣﻊ ﺻﻮﻣﻚ».
"Di antara bakti setelah bakti yang lain engkau melakukan salat untuk kedua orang tuamu bersama dengan salatnya. Dan engkau berpuasa untuk kedua orang tua bersama dengan puasamu".
Dari sini kemudian Imam Ibnu Hajar Al Haitami mengutip riwayat ulama Mazhab Syafi'i sebagai berikut:
ﻭاﺧﺘﺎﺭ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ ﻣﺤﻘﻘﻲ اﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ اﻷﻭﻝ ﻭﻓﻌﻞ ﺑﻪ اﻟﺴﺒﻜﻲ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺃﻗﺎﺭﺑﻪ (ﻗﻮﻟﻪ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺃﻗﺎﺭﺑﻪ) ﻋﺒﺎﺭﺓ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻓﻲ ﺃﻣﻪ اﻩـ.
Segolongan ulama yang ahli menjawab masalah dari generasi akhir memilih pendapat yang pertama yakni boleh menunaikan salatnya mayit yang ditinggal selama hidupnya dan As Subki melakukan qadha tersebut untuk ibundanya (Tuhfah, 6/ 439)
Kebolehan ini hanya untuk almarhum yang meninggalkan salat beberapa hari saja. Kalau meninggalkan salat karena sakit bertahun-tahun atau faktor lainnya tentu berat untuk ditunaikan oleh keluarganya.
Komentar
Posting Komentar